Biru, pagi ini aku melihatnya lagi. Biru, selalu melemparkan senyum kepada matahari pagi di pantai ini. Jujur saja, aku ingin senyum itu ditujukan padaku.
Entah sudah berapa lama aku memperhatikannya. Biru, seorang lelaki yang aku tidak tahu namanya. Seorang yang membuatku jatuh hati pada senyumnya. Seorang yang membuatku benar-benar jatuh hati pada pandangan pertama.
Biru. Aku menyebutnya begitu. Sebab saat pertama kali aku melihatnya, dia mengenakan kaos berwana biru langit.

***
Pagi itu aku baru saja tiba di Pangandaran dan langsung menuju ke arah pantai. Sudah hampir setahun aku tidak pulang karena sibuk kuliah di Bandung. Dan begitu libur akhir semester tiba, aku dengan segera beranjak ke kampung halaman. Aku sudah sangat rindu dengan suara deru ombak Pantai Pangandaran.

Ketika sedang mengitari tepi pantai, aku tiba-tiba terpaku oleh sosok Biru. Dia beralaskan sendal jepit tengah berdiri menatap air laut. Sinar matanya teduh. Dan yang membuatku jatuh hati adalah senyumnya. Entah kenapa, aku merasa senyumnya itu mengandung sesuatu yang magis sehingga membuatku benar-benar jatuh hati padanya saat itu juga.

Aneh memang. Aku jatuh hati pada Biru. Lelaki yang aku tidak tahu sedikit-pun tentangnya. Mungkin dia seorang wisatawan lokal yang hanya sekedar ingin menikmati indahnya Pantai Pangandaran dan tinggal beberapa waktu di sebuah hotel. Atau mungkin, dia adalah seorang pengusaha muda yang sedang meninjau lokasi di sekitar untuk membangun sesuatu yang berhubungan dengan bisnis.

Entah. Dengan memandangnya dari jauh saja sudah membuatku senang. Setidaknya untuk saat ini.
***

Menjelang senja. Hari terakhirku sebelum kembali ke Bandung. Aku bersepeda ke arah tepi pantai. Aku melihat Biru sedang duduk di atas pasir putih. Keinginanku untuk berkenalan dengannya sudah bulat, seharian aku mengumpulkan keberanian untuk menyapanya. Kukayuh sepedaku lebih cepat. Namun, sepertinya aku kalah cepat oleh seseorang wanita.

Wanita itu lebih dulu menghampiri Biru. Menghampirinya dengan kecupan kilat yang mendarat di pipi kanan Biru. Sesak.

Kemudian dari belakang wanita itu, seorang anak perempuan menampakkan diri di hadapan Biru. Wajah Biru berbinar. Digendongnya anak perempuan itu. Pedih.

Keinginanku untuk menghampiri Biru sirna. Aku berbalik dan mengayuh sepeda menjauh dari Biru.

Biru, aku jatuh hati. Jatuh hati padamu.
Biru, aku jatuh hati. Jatuh hati pada orang yang salah.


“Sebuah sinar cahaya lembut menyala pagi hari, aku senang kau di sini…”

Angin semilir menerpa wajahku. Aku menatap kosong ke hamparan air laut di hadapanku. Menunggu. Di kepalaku terputar kembali ingatan tentangnya. Tentang dia yang menyukai laut. Tentang dia yang menyukai buih-buih yang menyentuh jari-jari kaki mungilnya. Tentang dia yang mempunyai senyuman manis di wajahnya.

Pulau Lengkuas, pulau yang hanya memakan waktu 30 menit dari Pantai Tanjung Kelayang, Belitung. Pulau favoritnya. Pulau tempat dia sering menghabiskan waktu untuk menyelesaikan lukisan-lukisan indahnya. Dia adalah Lili. Seperti namanya, dia sangat lembut bagai putihnya bunga lili. Namun dibalik kelembutan itu, tersimpan keceriaan yang selalu tercermin pada senyumnya. Senyumnya yang…

Ah, ini dia yang ku tunggu!

Mentari dengan malu-malu mulai naik keperaduannya. Sinarnya yang terpantul di air laut membentuk kilauan indah. Sangat indah. Warnanya seperti senyumnya. Kuning emas, menyilaukan.

Aku sengaja datang ke pulau ini, menyisihkan waktu ku untuk menyaksikan fenomena alam ini. Saat matahari terbit di hari lahirnya. 

Sinar mentari, wangi laut, warna keemasan, selalu membuatku mengingatnya. Aku seperti bisa merasakan kehadiran Lili di sampingku. Bergelayutan manja di lenganku. Atau sekedar menceritakan kejadian lucu yang dia alami. Itu membuatku cukup bahagia.
Kutatap langit dan air laut yang menyatu pada satu garis. Menarik napas dalam-dalam.

Di sana, kamu bahagia kan? Lili, anakku…

“Ya, kamu ada di sini bersamaku. Terus ada di dalam hatiku…”


*cuma 200 kata.. :|
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home