Eyes~

Bunyi alarm semakin memekakkan telingaku. Dengan malas ku ayunkan lengan kiri ku untuk meraih weker yang ada di meja dan menekan tombol untuk menghentikan bunyinya. Suasana kembali hening. Sinar matahari yang menyilaukan terpantul di pelupuk mataku. Sepertinya aku tidak diijinkan untuk kembali merebahkan tubuh di kasur.

Akhirnya aku mengalah, ku buka mata ku perlahan. Tak ada yang berubah, semua masih sama seperti sebelumnya.

Aku kembali teringat kejadian itu. Air mataku mengalir. Makin deras. Isak ku mulai mengambang di keheningan. Dada ku terasa sesak, sesak seperti tertusuk ribuan jarum. Aku masih tidak rela. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini.

“Sayang, kamu gak papa?” tanya mama sambil mengusap kepala ku lembut. Sepertinya ia mendengar tangisanku.

“Aku gak rela, Ma. Aku gak mau kayak gini. Aku gak mau..” mama hanya terdiam dan membuatku hanyut dalam pelukannya. Mama mungkin sudah lelah melihatku seperti ini. Mama mungkin sudah tidak tahu apa yang harus dikatakan kepadaku. Sudah seminggu sejak kejadian itu. Kejadian yang membuatku seperti ini. Kejadian yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Kejadian yang membuatku buta.
***

“Kita mau ke mana?” tanyaku padanya. Aku bingung tiba-tiba dia menelpon dan mengajakku keluar seperti ini. Tidak biasanya. Tapi dia hanya tersenyum dan tetap mengemudikan mobil yang sedang kami tumpangi.

“Yan, kita mau ke mana sih?” Aku semakin penasaran. Dia tidak kunjung memberiku jawaban.

“Yan, kamu kenapa sih?” Sekarang dia membuatku takut. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku pasrah, menunggu dia mengeluarkan suara.

Yang ku tunggu tak kunjung datang, dia malah menaikkan kecepatan. Aku semakin takut. Tanganku mulai dingin, keringatku juga mulai menetes. Dan, hal yang sama sekali tidak kuharapkan menimpaku.

Kami mengalami kecelakaan. Mobil yang kami tumpangi menabrak pohon di sisi kiri jalan. Ternyata dia sedang mabuk, aku menyadarinya ketika melihat botol minuman keras di kursi belakang. Dan karena terlalu cepat, dia tidak bisa menghindari sebuah sedan yang datang dari arah yang berlawanan.

***

Aku merasakan kesadaranku kembali ketika mendengar suara tangisan. Siapa itu? Apa itu mama?

Aku perlahan membuka mata. Aku seketika panik karena tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya hitam. Kukedipkan mataku berharap bisa melihat sesuatu. Masih sama. Kuulangi lagi, berkali-kali. Tetap sama. Aku tak dapat melihat.

“Mamaaa..??” Aku mulai menangis. Meraung-raung kesakitan. Bukan fisik tapi batinku lah yang sakit.
***

Tepukan meriah dari para penonton memenuhi studio. Aku merasakan kepuasan yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Aku hanya bisa tersenyum, tersenyum dari hatiku.

Aku melangkah menuju kursi yang sudah dipersiapkan untukku. Letaknya di sebelah kiri tidak jauh dari  tempat di mana aku sekarang, seseorang memberitahukan ku tadi. Perlahan, dengan tangan aku berusaha untuk menemukan kursi itu.

“Bagaimana perasaan Kamu, setelah penampilan tadi?” Tanya host kepadaku sesaat setelah aku menemukan kursi ku dan duduk.

“Aku merasa sangat senang bisa tampil di sini” jawabku dengan senyum. Host yang bertugas membawakan reality show yang sedang kuhadiri ini pun terus memberi pertanyaan. Sampai pada pertanyaan terakhir.

“Apakah Kamu ingin mengucapkan terima kasih kepada seseorang?” Mendengarnya, aku terdiam. Menghela nafas, kemudian menjawab.

“Ya. Pertama, aku ingin berterima kasih kepada Mama. Tanpa mama, aku mungkin akan tenggelam dalam keterpurukan yang menimpaku. Tanpa mama, aku tidak akan bisa bertahan sampai sekarang. Kedua…” aku berhenti sejenak.

“Yang kedua??” Tanya si host penasaran.

“Yang kedua, terima kasih kepada orang yang telah mengatakan bahwa aku tidak berguna. Karena kata-kata itu aku jadi mau berusaha dan membuktikan kalau orang yang tidak bisa melihat seperti aku ini juga bisa melakukan hal yang membanggakan.” Ku akhiri jawabanku disambut tepukan riuh.

Seorang pianis, itulah aku yang sekarang. Walau tidak hebat, aku senang karena bisa membuat mama bangga. Aku senang karena tidak lagi merepotkan mama. Sekarang, setahun sejak kejadian itu, hampir semua pekerjaan dapat kulakukan sendiri. Aku tidak lagi menyalahkan dia sebagai orang yang menyebabkanku seperti ini. Aku tidak lagi membenci dia yang mencampakkan aku begitu saja ketika tahu aku buta. Aku juga bersyukur dia tidak terluka parah sehingga aku tidak menyesali kejadian itu.

Aku yang sekarang adalah orang yang berbeda. Lebih bisa mensyukuri apa yang diberikan olehNya. Aku tidak lagi membenci diriku yang buta. Aku memang buta tapi aku dapat melihat apa yang tidak bisa mereka lihat dengan mata.

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments: