Yang Abadi

“TIIIDAAAAAK!!”

Sebuah teriakan seorang wanita membangunkan ku. Aku tidak tahu siapa wanita itu. Aku juga tidak tahu kenapa dia berteriak. Hei! Tidak bisakah aku tidur? Aku lelah menangis. Aku terus saja menangis sejak berada di sini. Mataku sudah lelah. Aku ingin tidur.

Saat ku coba untuk memejamkan mata lagi, seseorang masuk. Dia membuka satu-satunya pintu di ruangan ini. Sepertinya pintu itu sudah sangat tua jadi menimbulkan bunyi yang aneh saat dibuka. Suaranya benar-benar mengganggu.

Orang tadi membawa nampan. Dia kemudian meletakkan nampannya di sebelahku. Makanan! Selain mengantuk aku juga lapar. Apakah kamu tahu? Setelah menangis kamu akan menjadi lapar. Aku juga belum makan sejak kemarin. Aku terus saja berontak dan mogok makan karena tidak ingin berada di sini.

Aku tidak tahu mengapa mereka membawa ku ke sini. Hal terakhir yang ku ingat adalah saat aku berjalan kaki dari sekolah menuju rumah. Mungkin mereka membuatku pingsan, membawa ku ke sini. Menculik ku.

“Kau tidak ingin berontak lagi?” tanya orang itu padaku. Dia tersenyum sinis. Aku hanya diam. Aku sudah tidak ingin berontak. Aku memilih untuk pasrah saja. Toh, aku akan segera pulang setelah orang tuaku menebusku. Iya, kan?

Setelah orang itu keluar, ku habiskan makanan tadi dengan lahap. Aku ingin langsung tidur sehabis makan. Tapi sepertinya aku tidak diijinkan untuk tidur sekarang. Baru beberapa menit setelah makananku habis. Datang lagi dua orang. Kali ini mereka tidak membawa apa-apa.

Mereka mendekatiku. Kemudian menggenggam lengan ku erat. Aku diseret ke luar dari ruangan. Apa aku akan dibebaskan? Apa orang tuaku datang menjemputku? Aku begitu penasaran. Ku tatap wajah mereka bergantian. Mereka tersenyum dan mengatakan pada ku, “Sudah giliranmu.” Giliran? Giliran apa? Aku tidak mengerti.

Aku masih dalam kebingungan saat dibawa ke ruangan lain yang tidak jauh dari ruanganku tadi. Ruangan ini sangat berbeda. Sangat bersih dan tiga kali lebih besar dari ruangan tadi.

Aku masih dalam genggaman dua orang tadi. Seseorang paruh baya dari sudut pintu kemudian datang sambil membawa jarum suntik berisi cairan. Aku makin bingung.

“A-apa itu?” tanya ku takut-takut.

“Ini adalah Amerta.” Jawab orang yang membawa jarum suntik itu. Amerta? Apa itu? Aku tidak pernah  mendengar hal seperti itu.

“Bu-bukankah kalian akan melepaskanku? Bukankah orang tuaku datang menjemputku?” tanyaku lagi. Tapi mereka tidak menjawab. Aku mulai meronta-ronta. Aku takut.

“Tenanglah, Nak. Sebentar lagi kau akan hidup abadi.” Kata seseorang dari mereka. Hidup abadi? Apa benar ada? Aku sudah tidak peduli. Aku hanya ingin lari dari sini.

“Ya, jika ini berhasil.” Sambung seseorang lainnya. Ku rasakan jarum suntik menyentuh kulitku. Cairannya kini masuk dan mengalir dalam tubuhku.

“Dan jika ini tidak bekerja, kau akan berakhir seperti mereka.” Bisik orang yang menyuntik ku.

Kemudian, terangkatlah kain yang menutupi dinding kaca di sebelah ku. Aku tidak sempat lagi merasa terkejut melihat tumpukan mayat itu. Kesadaranku perlahan menghilang, mataku terasa berat.

“Jangan takut, Nak. Aku akan menghidupkan mu lagi setelah berhasil menyempurnakan Amerta ini.”

Aku tidak tahu apa tujuan kalian. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud dengan Amerta. Apakah dengan Amerta kalian bisa hidup abadi? Aku tidak peduli. Kalian bodoh. Sangat bodoh. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kehidupan yang abadi itu di surga.

Mataku akhirnya bisa terpejam. Aku tidak merasakan apa-apa lagi.

Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. iih merinding bacanya...
    makasih ya atas partisipasinya :D

    ReplyDelete
  2. ehehe.. makasih jg udah sempetin baca~ :D

    ReplyDelete