[Book Review] Bumi Manusia

 Judul : Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Cetakan Pertama, 2005 (First Published 1975)
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 535 halaman 
ISBN: 978-979-9731-23-4








Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah, Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Ini buku sastra indonesia pertama (seingat saya) yang saya baca, sekaligus buku perkenalan pada Pramoedya -yang ternyata seterkenal ini-.

Gaya bahasa yang digunakan, cara penggambaran yang deskriptif membuat saya merasa sedang membaca buku terjemahan dan mengira awalnya buku ini memang ditulis dalam bahasa bukan Indonesia.

Sebenarnya saya tidak bisa berkomentar banyak tentang buku ini. Isi dan konflik di dalamnya benar-benar baru bagi saya. Sejauh yang saya tangkap, masalah utama yang dibahas adalah tentang Pribumi, Indo dan Eropa Totok (yang saya kira artinya adalah Orang Eropa asli).

Di luar permasalahan pelik tentang Pribumi dan sebagainya itu, buku ini tetap bisa dinikmati walau kadang bisa membuat saya mengernyitkan alis karena tidak mengerti beberapa istilah dalam buku ini.

"Kau dalam kesulitan, Minke. Kau jatuh cinta." - Jean Marais, hal 77

Untuk tokoh favorit, sepertinya saya tidak akan memilih tokoh utama. Minke ataupun Annelies belum bisa merebut perhatian saya. Kisah cinta mereka terlalu berlebihan (menurut saya) mengingat usia mereka yang masih sangat muda.
Oh, dan Anne ini mengingatkanku pada Milea (tokoh dalam buku Dilan) yang karakternya hampir sama.

Saya lebih tertarik pada Nyai Ontosoroh.
"Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?"
"Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima." - Nyai Ontosoroh, hal 105

Walaupun agak panjang, kisah tentang Nyai Ontosaroh begitu menarik untuk dibaca. Mengingatkan sama satu buku yang juga pernah saya baca, anak-anak perempuan yang dipingit di usia muda dan dipersiapkan untuk lelaki kaya tak peduli muda atau tua di luar sana.. 14 tahun aja udah dianggap perawan tua.

Ada beberapa hal yang menarik dalam buku ini. Saya baru tahu kalau ternyata wanita-wanita Jawa dulunya dipangur (diratakan gigi taringnya). Juga pomade, yang sedang tren saat ini dikalangan para pemuda, ternyata telah digunakan sejak tahun 1900-an (Menurut informasi dari teman saya, ternyata pomade ini sudah ada sejak tahun 1800an).

Ending buku ini agak gantung. Mungkin akan lebih dijelaskan di buku berikutnya. Semoga.

Jadi, pada akhirnya saya tidak bisa memberi banyak bintang, untuk bumi manusia, cukup ★★★. ;D
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. Salam kenal! Nama kita mirip deh, hihihi.

    Sayasedang baca buku ini. Setting dan gaya berceritanya mengingatkan saya akan bukunya Y.B. Mangunwijaya yang sebelumnya kubaca, sama-sama jaman kolonial Belanda. Nyai Ontosoroh memang tokoh yang menarik. Meskipun sepertinya banyak dielu-elukan, figur perempuan cerdas dan kuat seperti dia rasanya belum terlalu sering muncul di buku-buku :D. Atau mungkin saya-nya sih yang belum banyak baca buku, hehehe.

    Febri
    http://mimikatti.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, salam kenal juga.
      Iya, ya.. namanya mirip.. hihi :3

      Kalau buat saya, buku ini buku bersetting jaman Belanda pertama yang saya baca.
      Iya, kan.. Nyai Ontosoroh memang karakter yang menarik. Bisa cerdas dan kuat seperti itu padahal masa lalunya kelam sekali.

      Oya, makasih sudah mampir ke blog-ku. :D

      Delete